Menjelang limit akhir penyerahan dokumen persyaratan tim profesional kelas 1 Liga Indonesia sebagai substansi keseriusan PSIS mengarungi kompetisi, Ketua Umum PSIS Soemarmo Hadi Saputro melakukan free kick dengan gemilang, dan menghasilkan gol.
Kubangan polemik di Kota Lunpia, dalam sepekan terakhir, membludakkan lahar panas. Bukan hanya melibatkan kalangan elit, tetapi juga menyeret konflik interes di kalangan suporter. Lihat bagaimana siang ada unjuk rasa di depan balaikota, malamnya ada pula yang melakukan demonstrasi di Tugu Muda.
Merger, diyakini tumbal ampuh melahirkan tim kuat, di sisi lain banyak yang ingin membasmi istilah merger demi tegaknya tonggak PSIS yang dibangun dengan tumpah darah dalam penjajahan Belanda, yang dalam penegakan di masa merdeka perlu pula diberi pondasi AD/ART.
Mencermati situasi tak menentu, Soemarmo memetik jalan tengah dengan menggelindingkan Tim Mahesa Jenar tanpa perlu penggabungan dengan Semarang United (sebab menurutnya Semarang United, di bawah naungan LPI, telah dibubarkan) seiring pakem baru Liga Indonesia.
Tanpa dinikahkan dengan klub manapun berarti PSIS tetap PSIS, meski tentu ada deal-deal tertentu – dan dengan pihak mana pun – yang kita sama sekali tak tahu. Walhasil, seperti ucapan Soemarmo tadi malam bahwa “yang penting di Semarang tetap ada sepakbola”, sesungguhnyalah hingga tulisan ini diturunkan tadi malam PSIS masih ‘aman’.
Yang tidak aman tentu saja tentang kelangsungan PSIS secara “manajemen sehat” di kemudian hari. Bila tim ini dikaitkan dengan Semarang United (seperti bisik-bisik orang dalam), ada dua ujung yang menunggu. Pertama, lambat laun PSIS tetaplah bakal PSIS, dan Semarang United lambat tetapi pasti akan terkubur, alias dimakamkan.
Yang kedua, friksi yang terjadi ialah perebutan hak. Siapa tahu karena lemahnya klausul perjanjian, justru kelak ada pihak yang merasa menjadi pahlawan, bila ada penghitungan rugi-laba. Selisih paham tidak hanya merugikan tim, melainkan menjadi aib nasional yang menyemprot muka Semarang dengan lumpur selokan.
Ego juga akan muncul bila di ujung kompetisi PSIS juara, yang memunculkan sikap-sikap ‘kepahlawanan’. Harap maklum, orang-orang yang merasa sebagai pahlawan ini pernah hadir ketika PSIS juara pada 1999. Dari kita tidak tahu siapa saja mereka dan dari mana asal usulnya, tiba-tiba saja berfoto dengan Tugiyo dan Ali Sunan saat Piala Presiden diterima Walikota Soetrisno Suharto, serta memberikan komentar.
Sebaliknya, saat PSIS terpuruk, satu persatu orang yang tadinya rajin duduk di bench pemain – karena merasa menjadi bagian dari PSIS – perlahan-lahan hilang karena memilih pergi ke mall bersama anak-bininya untuk mengulum es krim dan berbelanja ketika PSIS menjamu tamunya!
Tentu kita tak berharap ada jurang yang menganga dan bentrokan psikis (siapa tahu bahkan fisik) di antara Pak Marmo beserta stafnya di jajaran kepengurusan PSIS, Pak Putut Sutopo dkk (bila ia akhirnya terlibat kembali dalam penanganan tim), serta kubu Semarang United (jika memang Novel Al Bakrie cs ternyata berada dalam jajaran manajemen baru). Tak juga kita berkeinginan muncul benturan-benturan. Hanya saja langkah antisipasi wajib dilakukan supaya PSIS dan suporter menjadi korban! (arief rahman)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.